Nessa,
ya itulah namaku, gadis dari kota kecil yang mencoba meraih mimpi dengan
menuntut ilmu di salah satu Perguruan Tinggi Negeri di kota Surabaya. Di Perguruan
Tinggi Negeri inilah aku dipertemukan dengan Rena, Angga, dan Yudit. Tiga anak
manusia dengan karakteristik berbeda-beda yang dipertemukan saat ospek
mahasiswa baru. Rena yang bersifat slalu ceria, kadang juga ababil dan sangat
menggilai dunia korea. Angga cowok yang pendiem dan terlalu serius menjalani
hidup, tapi jago banget bermain gitar yang memukau kaum hawa yang melihatnya. Yudit
cowok yang supel, interest sama dunia photography dan teknologi informatika
yang merasa salah masuk di jurusan pendikan. Sedangkan aku sendiri yang
memiliki sifat serius, moody, dan sok sibuk, yang gampang galau dan sok
perfeksionis. Namun dari kami berempat ada kesamaan yang membuat kami merasa nyaman
dan cocok, kami sama-sama suka travelling, dunia mbolang, dan kami bersepakat
membentuk grup “MBOLANG GEMBELNISTA” dengan pioner dan pengurusnya kami sendiri.
Bahkan kami sempat memiliki cita-cita jikalau dewasa nanti kami mendirikan usaha
jasa travel pariwisata dengan kami sendiri sebagai tour guidenya. Mengingat cita-cita
itu membuatku tersenyum-senyum sendiri, mungkinkah semua itu terjadi?
“WOEEEE…..”
sapa Rena dengan tiba-tiba sambil menepuk bahuku dari belakang, yang sontak
membuatku terperanjat dan membuyarkan lamunanku. Dia pun segera duduk di
sebelahku di gazebo jurusan tempat biasa kami nongkrong.
“Ah
loe Ren bikin kaget saja…. Ada apa?” tanyaku sambil masih megelus-ngelus dada
mengatur detak jantung untuk kembali normal.
“Besok
ke Bromo yuk? Ada klien tuch yang ngajakin kesana, itu mas Reza sama mas Ivan,
katanya sich mereka belum pernah kesana. Yaa.. sekalian kita nostalgia waktu
kita pertama ke Bromo dulu gitu.” Celoteh Rena menjelaskan panjang lebar.
“Angga
sama Yudit gimana? Oke gak mereka? Kalo mereka oke, ya kita berangkat… kan
mereka berdua sopir kita… Hahahaha….” kataku sambil tertawa.
“Kalo
Yudit sich oke-oke aja, kalo Angga nich agak repot, ceweknya agak rewel juga
yang jadi posesif dan batasi dia mbolang sama kita.. huh… “ ungkap Rena kesal.
Tak
lama kemdian “Tiiit… tiiittt… ada sms… ada sms..” Hp Rena bordering
mengisyaratkan ada pesan masuk. Tanpa basa basi langsung saja dia buka dan……
“Aaaaaaaa……” teriak dia dengan histeris dan kegirangan sampek loncat-loncat
kecil.
“Ada
apa? Ada apa?” tanyaku dengan penuh penasaran.
“Si
Angga jadi ikuuuuuuuut…… Ceweknya akhirnya ngebolehin dia dan gak jadi rewel
mau ikut kita…” jawab dia dengan penuh kegirangan.
“Aaahh…
Syukurlah… Kalau begitu besok ngumpul jam 1 siang ya.. oke…” kataku.
“Oke…
Siph dah… Biar nanti aku yang jarkom mereka.” Kata Rena.
Setelah
semuanya hambatan teratasi kami bersepakat besok ke Bromo ngmpul jam 1 siang di
kampus. Dengan segera aku packing barang-barang kebutuhanku, tak lupa aku
masukkan jaket baruku yang tebal dan tutup kepala khas untuk daerah dingin,
sarung tangan, dan masker pelindung hidung dari belerang kawah Bromo. Tak sabar
aku menanti hari esok, hawa sejuk dengan udara yang dingin menusuk tulang,
hamparan pasir yang luas layaknya gurun padang pasir, kawah belerang yang tiada
habisnya mengeluarkan asap belerang, dan sunrise yang begitu amazing sudah
terngiang-ngiang di benakku.
--------------------
Keesokan
harinya dengan ceria dan bersemangat tim kami siap menancap gas meluncur ke
Bromo. Dengan personil dua orang cewek dan empat orang cowok memudahkan kami
untuk berkoordinasi karena tidak banyak personil. Aku, Rena, Angga, dan Yudit
karena ini kedua kalinya ke Bromo, maka persiapan kami sudah lengkap, begitu
pula dengan mas Ivan meskipun ini pertama kali bagi dia, namun dia sudah bisa
memprediksikan apa yang seharusnya dia bawa. Hal ini berbeda dengan mas Reza.
Mas Reza yang terlalu cuek dengan perlengkapan mbolang ini setiap kali mbolang
entah di gunung maupun di pantai slalu saja hanya membawa celana, kaos, jaket,
dan sandal jepit yang dia bawa. Meskipun kami sudah mencoba mengingatkan, namun
tetap saja dengan pendiriannya, alhasil ya sudah kami tetap melanjutkan
perjalanan. Tak lupa kami mampir ke supermarket untuk membeli logistic (snack
dan minuman) yang haram hukumnya jika tidak membawa. Perjalanan kami dari
Surabaya-Bromo kurang lebih sekitar 4 jam dengan kecepatan maksimum, menghalau asap-asap
kendaraan bermotor, jalan yang terjal, terik panas matahari, namun semua itu
tidak menyurutkan semangat kami untuk melanjutkan perjalanan, hingga akhirnya kendaraan
roda dua kami memasuki daerah dengan jalan yang berkelak kelok seperti ular,
deretan pepohonan, barisan pegunungan, dan disambut dengan hawa dingin. Kami
sempat melewati villa yang dulu pernah kami singgahi ketika kegiatan praktikum mata
kuliah ilmu pengetahuan lingkungan ke Bromo, dan sampai akhirnya kami berhenti
di bawah pintu gerbang “SELAMAT DATANG DI KAWASAN BROMO”.
Tiba
disana kami langsung disambut segerombolan penduduk sana yang menawarkan
penginapan kepada kami, karena mereka calo, dan kami tidak menemui pemilik asli
villa, maka harga yang mereka tawarkan lumayan mahal, sehingga kami memilih
satu kamar yang murah sesuai dengan kantong mahasiswa, dengan vasilitas tiga
kasur, satu kamar mandi, dan satu televisi.
“Aaaaaakhiiirnyyaaaaaa…..
sampai juga….” Kataku girang ketika masuk ke kamar sambil melempar tasku ke
kasur bagian tengah yang paling luas. “Karena ini paling luas, maka ini adalah
daerah cewek… hahaha….” Kataku dengan penuh bangga.
“iyaaa
setujuuuu…. “sambung Rena.
“Ehmmm….
Dasar curang…. Harusnya aku tuch yang tidur disitu… badanku kan gedhe…. Ya gak
Ngga?” tanya Yudit.
“Iyaaa…
bener tuch….” Kata Angga.
“Sudah-sudah
terserah kalian mau tidur dimana. Cepetan gih dibersihin dulu, habis gini kita
cari makan malam.” Kata Mas Reza melerai perebutan kasur kami.
Akhirnya
Angga dan Yudit pun mengalah, dan kami segera bergegas membersihkan tempat
tidur dan lantai kamar, cuci muka, dan segera jalan-jalan malam di sekitar
pemukiman warga sambil mencari makan malam. Kami singgah di salah satu warung
di sana dan memutuskan memesan soto dan nasi goreng dengan minum kopi sebagai
penghangat tubuh. Kami sempat heran dengan pemandangan yang tak biasa kami
lihat, di warung itu banyak wanita yang menghisap rokok. Karena di daerah
tempat tinggal kami umumnya wanita merookok itu adalah hal yang tabu. Selain
itu, penduduk asli sana semuanya slalu menggunakan sarung sebagai penutup tbuh
mereka agar tidak terlalu kedinginan. Setelah puas jalan-jalan malam, kami pun
kembali ke kamar. Sambil nonton televise, kami membahas pengeluaran dan
mambayar utang makan sama mas Reza sebagai donator sementara.
“Eh..
aku bayarnya besok aja yak ke ente… gue mau tidur duluan, jangan lupa bangunin
gue jam 3 dini hari, gue mau nonton semifinal piala Eropa.” Kata mas Ivan dengan
gayanya yang sok jakarte.
“Oke
broow….” Jawab mas Reza.
-------------------------
Malam
itu aku, Rena, mas Reza, dan mas Ivan sempat kesulitan tidur, karena dengkuran
si Yudit yang menggelegar dan berirama bagaikan music di tengah malam. Namun karena kami terlalu kecapekan maka kami
pun tertidur pulas tanpa menghiraukan dengkuran si Yudit. Namun saat tengah
malam aku sempat terbangun karena mas Ivan ngelindur dan teriak-teriak
“Tolong….. Tolooooooong…..” Setelah aku berhasil menyadarkannya, aku pun
kembali tidur. Jam 3 dini hari teman-teman cowok membangunkanku dan Rena. Kami
segera bergegas cuci muka, ketika aku masuk kamar mandi, “Aaaaaaaaahhh……
Diiiingiiiiiiinnnn……” Teriakku karena kedinginan. Air di Bromo sungguh sadis
dinginnya hingga syaraf-syaraf wajahku tidak kuat menerimanya sehingga saat
cuci muka berasa cenut-cenut, dan bahkan gigi sensitifku langsung kumat
ngilunya. Cepat-cepat aku keluar dari kamar mandi dan naik di atas kasur
menarik slimut kembali berusaha mengembalikan tbuhku ke suhu normal.
Kami
segera mengumpulkan niat untuk melawan dingin dan bergegas siap-siap untuk
mendaki. Sebelum mendaki ternyata para tim mbolang cowok begitu asyik menonton semifinal
piala Eropa antara Spanyol Vs Portugal.
“Kalau
Portugal menang, biaya penginapan kalian, gue kembaliin.” kata mas Reza dengan
tegas. Satu orang ini begitu tergila-gila dengan tim Portugal. Namun sayang
karena yang menang tim Spanyol, maka terpaksa kami tetep harus membayar
penginapan sendiri.
“Kalau
aku, aku bernazar bahwa sesampai di puncak nanti, aku akan mencopot bajuku dan
foto disana tanpa menggunakan baju.” Kata mas Ivan.
Ketika
mau mendaki ternyata motor Angga bannya bocor, terpaksa kami menggunakan jasa
ojek. Meskipun demikian semangat kami tetap tidak kendor. Kami mulai menyusuri
tanjakan tanah, mengayuhkan kaki lebih semangat langkah demi langkah disertai
canda tawa. Angga lah orang yang paling sering buat banyolan, meskipun dia
pendiam tapi tingkah dia slalu mengundang tawa kami. Ditambah lagi mas Ivan
yang bercerita mimpinya yang sampai membuat dia ngelindur.
“Aku
tadi malam mimpi horror banget tau gak. Masa’ si Reza berubah jadi pocong,
tidur di sebelahku sambil menarik-narik kakiku nagih hutangku. Haduuuh… serasa
mau copot jantngku, makanya aku teriak-teriak tolooong… tolooooong…” cerita mas
Ivan dengan penuh ekspresif yang membuat kami tertawa terpingkal-pingkal.
Selama pendakian kami juga saling
menyemangati, membuat kami tidak mudah merasa capek, dan bahkan tidak terasa
kami sudah berada di anak tangga paling bawah. Dengan semangat yang
berkobar-kobar kami berenam saling membantu menaiki anak tangga satu persatu.
Anak tangga tersebut sudah berbeda dengan yang dulu, sekarang penuh dengan
pasir, dan pagar pembatas banyak yang roboh karena terjadi gempa dan longsoran
dari kawah gunung Bromo. Gunung Bromo ini merupakan gunung yang masih aktif di
Jawa Timur. Semua perjuangan kami terbayarkan ketika kami sampai di puncak
gunung Bromo. Kami serasa berada di tempat yang paling tinggi, dan menikmati
indahnya sunrise. Tak lupa kami mengabaAnggan dengan berfoto di gunung Bromo.
“Mas,
katanya mau copot baju trus foto? Ayo cepetan… Kamu kan sudah terlanjur
bernazar, jika gak dijalani kan berdosa.” kataku pada mas Ivan. Akhirnya dia
melepas baju satu per satu sebanyak enam lapis, kemudian berfoto dengan latar
gunung Batok. Banyak orang-orang yang memandangi mas Ivan, dan bahkan ada
ibu-ibu yang mengira kalo mas Ivan lagi stress atau lagi mabuk minum minuman
keras. Setelah puas foto-foto di atas, maka kami memutuskan untuk segera turun,
dan ngopi di salah satu lesehan pedagang di sana. Kami sempat ngobrol dengan
ibu penjual kopi tersebut. Dilihat dari parasnya ibu separuh baya itu berusia
kurang lebih 48 tahun, beliau berjalan kopi di gunung Bromo sejak 25 tahun yang
lalu dengan berjalan kaki dari rumahnya sejauh kurang lebih 10 kilometer.
Sekarang anak ibu itu juga ikutan berjualan di gunung Bromo dengan membuka
lesehan sendiri. Dari cerita itu kami merasa sugguh sangat beruntung bisa hidup
berkecukupan dan mengenyam pendiAnggan sampai tingkat perguruan tinggi.
Ditengah-tengah suasana hening kami, tiba-tiba…..
“Astagaaaaa…..
mana tripodku?????” teriak Yudit dengan muka panic bukan main yang sontak
memecahkan keheningan di antara kami. Seinget dia tadi dititipin ke Rena namun Rena
lupa membawanya turun ke bawah. “Padahal itu tripod harganya lumayan mahal
sich…” sambungnya.
“Ya
sudah aku naik lagi aja… Ini kan kesalahanku, jadi aku harus bertanggung
jawab.” kata Rena dengan muka melas.
“Kamu
gak apa-apa? Naik lagi itu capek lho Ren, ada ratusan anak tangga, yakin kamu
mau naik lagi? Mana tangganya juga banyak pasirnya.” kataku meyakinkan Rena.
“Gak
usah naik, biar aku aja, gak apa-apa, aku kan masih pertama kali kesini jadi
naik turun tangga dua kali ya gak masalah lah… hehehe…” kata mas Reza. Akhirnya
pun mas Reza rela berkorban untuk menaiki ratusan anak tangga, dan bersyukur dia
kembali tidak dengan tangan kosong, karena tripodnya tidak sampai hilang, masih
berada di posisi semula.
Ketegangan
pun berakhir, setelah kami selesai menikmati seduhan kopi di gunung Bromo, kami
memutuskan untuk turun dan mencari pemandangan bagus di lereng gunung Bromo
untuk berfoto. Kenampakan gunung Bromo telah berubah, berbeda dengan ketika
pertama kali kami kesana. Sekarang kami menemukan banyak tanah-tanah yang
membentuk tebing, sehingga kita serasa berada dalam gua yang tidak terjamah
oleh orang lain, atau serasa kita berada di taman umpet. Kebiasaan kami kalau
mbolang adalah membeli kaos khas yang bertuliskan daerah wisata tersebut.
Seperti orang kalap kami pun memborong kaos dengan penawaran yang sadis yang
dilakkan oleh mas Reza, namun dengan mengeluarkan segala bujuk rayuan akhirnya
kami mendapatkan banyak kaos dengan harga yang murah. Kami senang sudah puas
foto-foto dan membeli kaos, namun tiba-tiba….
“Tunggu,
kita nanti makan apa? Uang kita sudah sangat tipis, diperhatikan bensin untuk
kita pulang nanti.” kata Yudit. Serentak kami bingung dan berfikir kita harus
makan apa. “Aaaa… aku punya ide, gimana kalo kita beli lima mie instan kita
makan bareng-bareng berenam, kan disediain dapur tuch di penginapan.” usul Yudit
dengan senyum yang mengembang layaknya menemukan ide brilian.
“Ehmmm…
ya udah setuju-setuju aja sich aku.. Gimana dengan kalian?” tanya Angga.
Tanpa
pikir panjang aku, Rena, mas Reza, dan mas Ivan mengangguk. Akhirnya kami
sepakat membeli mie instan, kami masak dan makan bersama-sama. Ini yang menjaAnggan
kami seperti mbolang gembelnista beneran dengan keterbatasan uang. Kami
berprinsip bahwa untuk mbolang itu tidak perlu mengeluarkan banyak biaya. Kita
mencoba hidup sederhana dengan makan apa adanya. Setelah semua kenyang, kami
memutuskan segera packing bersiap-siap untuk check out dari penginapan tanpa
mandi sekalipun. Karena air yang terlalu dingin membuat tubuh kami tidak bisa
mentoleransi karena sudah terbiasa hidup di lingkungan panas di Surabaya.
Sempat sedih meninggalkan Bromo, daerah yang begitu sejuk dan damai, yang telah
berhasil merefresh otak kami dari sejuta kepenatan oleh tugas kuliah. Dua hari
sungguh waktu yang sangat singkat, namun mau apa lagi kita harus pulang sebab
besok kita harus kembali aktif di bangku perkuliahan. Akhirnya kami dengan
berat hati menancap gas meluncur meninggalkan Bromo. Tak di duga, sampai tengah
jalan motor Angga mogok, tak ada bengkel di sekitar. Kami sempat panic apa yang
harus kami perbuat dengan keterbatasan dana. Syukurnya si Yudit lumayan
mengerti tentang motor, ternyata mesin motor si Angga kepanasan, jadi kami berhenti
sejenak untuk menunggu sampai panasnya menurun, dan “Greeemm… Greeemmm….
Greeemmmm” akhirnya motornya bisa lagi, tanpa basa basi kami melanjutkan
perjalanan.
Di perjalanan pulang kami sempatkan mampir ke
air terjun Madakaripura. Konon kata orang-orang air terjun ini sangat indah
sekali. Kami telusuri jalan kecil yang berkelok-kelok dan sedikit agak terjal.
Masih dengan semangat yang tidak pernah redup, sampai akhirnya kami sampai di
loket masuk pariwisata itu. Kami pun melanjutkan masuk ke area parkir yang
sempat mengejutkan kami. Kami sibuk dengan asumsi kami sendiri-sendiri dengan keganjalan-keganjalan
yang terjadi di daerah ini. Tempat parkir yang tidak tertata rapi karena tidak
terdapat lahan khusus untuk parkir, orang berjualan souvenir yang sangat sedikit
dan sederhana dengan pajangan baju yang hanya beberapa, sontak membuat kami
ragu “benarkah ini tempat pariwisata?” lamunan kami buyar ketika ada
bapak-bapak mengarahkan kami untuk memarkir motor kami dan beliuanya berkata,
”Parkir di sini saja mas… Saya jamin aman kok, nanti kalao sampean mau ke air
terjun, sampean harus jalan kaki dulu satu kilometer.”
“Baik
pak… Terimakasih…” kata Angga sambil memarkir motornya, yang disusul Yudit dan
mas Reza.
Kami
berjalan menyusuri sungai bersamaan, tiba-tiba ada mas-mas yang mengarahkan
langkahku dan membantuku menyeberangi sungai, sontak teman-teman cowokku pada
kaget dan bertanya dalam hati “Siapakah dia? Kenapa dia ikut dalam rombongan
kita?” Setelah ditanyakan ternyata dia adalah penduduk sekitar yang ingin
menjadi guide kami menuju air terjun Madakaripura. Namun dia meminta imbalan
yang tidak sedikit, dengan keadaan kami yang tak lagi mempunyai uang, maka kami
menolak menggunakan jasa mas tersebut. Kami sempat kembali berfikir antara kami
melanjutkan perjalanan atau kami pulang.
“Jika
kita melanjutkan perjalanan, jauhnya satu kilometer, kita belum tau bagaimana
medannya. Dilihat dari batuannya yang seperti ini, medannya sepertinya sulit.
Kita baru saja menuruni gunung Bromo, apa kita yakin kuat untuk berjalan sejauh
itu dengan medan seperti ini?” tanya mas Ivan.
“Iya..
aku juga gak tega sama motor kita, aku kawatir sepertinya tidak aman. Lebih
baik kita pulang saja.” ujar Yudit.
“Tapi
sayang kalau kita pulang, kita sudah sampai sini, kapan lagi kita kesini?”
kataku dengan melas sambil saling lirik sama Rena yang berfikiran sama
denganku.
“Benar
memang sayang ditinggalkan, tapi kita juga harus memikirkan keselamatan kita
berikutnya, bagaimana motor kita juga, jadi lebih baik kita pulang saja. Besok
kita mbolang berikutnya ke air terjun lainnya yang gak kalah bagusnya, gimana?”
tanya mas Reza menghibur kami berdua. Dengan berat hati akhirnya aku sama Rena
mengalah dan kami beranjak pulang. Tiba di parkiran….
“Looh…
motorku diapain tuch?” Tanya Angga dengan buru-buru lari mendekati motornya.
Sontak kami kaget dan ikut berlari mengejar dia. Ternyata ada dua anak kecil
yang membersihkan motor Angga, cukup disemprot air dan digosok dengan kain lap.
“Mas…
minta uangnya mas…” ujar salah satu anak kecil itu.
“Loh
dek, kan aku gak minta dicuciin motorku?” jawab Angga.
“Untuk
biaya sekolah mas… Tujuh ribu aja mas… Atau gak gitu lima ribu mas…” sambung
anak kecil satunya.
“Tapi
mas gak punya uang beneran.” Kata Angga.
Jujur
dalam kantong celana Angga hanya ada uang Rp. 20.000,- untuk biaya bensin
perjalanan pulang, dan Rp. 2000,- yang ada di dompetnya. Karena Angga yang
tidak tegaan maka dikeluarkanlah dompetnya dan uang dua ribu itulah yang Anggasih
ke anak kecil tersebut. Kemudian tanpa banyak kata, kami berenam segera
meninggalkan tempat yang menurut kami sedikit menyeramkan itu. Kami pulang
dengan beribu kecewaan, namun kami tetap berusaha berpositif thinking.
Setidaknya dengan mbolang ini banyak sekali pengalaman yang kami dapat, banyak
sekali daerah-daerah wisata yang menyuguhkan keindahannya masing-masing, yang
membuat kita semakin mengagumi kekuasaanNya. Selain itu juga membuat kita
bersyukur dengan keadaan kita saat ini meskipun keluarga kami bukan orang kaya
namun kami sudah hidup berkecukupan, masih banyak orang yang kurang beruntung
seperti mereka, yang harus berjuang keras untuk menyambung hidupnya. Aku juga
bangga dengan sahabat-sahabatku ini yang tidak pernah capek dan selalu antusias
melanjutkan mbolang-mbolang berikutnya, dengan ide-ide gila yang membuat setiap
perjalanan menjadi pengalaman yang berharga, yang saling membantu dan
melindungi ketika bersama-sama berteman dengan alam. Dengan persahabatan dan
petualangan ini kami bisa mengetahui bahwa dunia itu luas, dunia itu indah, dan
alam itu sahabat baik kita jika kita mau bersahabat baik dengan mereka.
------
Selesai ------